BAB.I. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Kekayaan
Indonesia mempunyai potensi besar di dalam menyukseskan pembangunan khususnya
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Walaupun demikian, cita-cita itu
tidak akan mungkin dicapai tanpa adanya usaha atau kerja keras dan pengorbanan
dari seluruh rakyat, yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga negara.
Kekayaan potensi harus dimanfaatkan seoptimal mungkin dan dikelola dengan baik
agar dapat menghasilkan nilai tambah dalam sektor ekonomi, guna meningkatkan
kesejahteraan dan kehidupan masyarakat. Perkembangan pembangunan perikanan di
Indonesia sebagai bagian integral pembangunan nasional telah menampakkan hasil
yang cukup baik.
Sebagai
negara kepulauan dengan 17.499 pulau dan memiliki garis pantai sepanjang 104
ribu kilometer atau terpanjang kedua di dunia, potensi kelautan sangat besar.
Diperkirakan, potensi ekonomi di sektor kelautan, baik yang berhubungan dengan
sumber daya alam dan pelayanan maritim nilainya mencapai lebih dari US $ 1,2
triliun per tahun. Dengan potensi kelautan yang demikian besar, kontribusi
sektor kelautan Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sekitar 22%.
Saat ini dan di masa depan sektor kelautan dan
perikanan semakin memiliki peran strategis dalam memperkuat ketahanan pangan
dan mendorong perekonomian Indonesia (Sharif Cicip Sutarjo). Buktinya, sejak
strategi industrialisasi perikanan mulai dicanangkan Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP) pada tahun 2011, produktivitas di sektor ini terus
meningkat.
Sesuai
data Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal II -2013 sektor kelautan
dan perikanan tumbuh 7% dibandingkan periode yang sama tahun 2012. Tingkat
pertumbuhan ekonomi di sektor kelautan dan perikanan itu lebih tinggi daripada
pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 5,81%.
Meskipun
industrialisasi perikanan telah berhasil mendorong produktivitas dan nilai
tambah di sektor kelautan terus meningkat, namun penerapan konsep Blue
Economy akan semakin memperkuat pengelolaan potensi kelautan secara
berkelanjutan, produktif, dan berwawasan lingkungan. Pendekatan Blue Economy
juga akan mendorong pengelolaan sumber daya alam secara efisien melalui
kreativitas dan inovasi teknologi.
Konsep Blue Economy juga mengajarkan bagaimana menciptakan produk
nir-limbah (zero waste), sekaligus menjawab ancaman kerentanan pangan serta
krisis energi (fossil fuel). Melalui konsep Blue Economy kita akan dapat
membuka lebih banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat, mengubah kemiskinan
menjadi kesejahteraan serta mengubah kelangkaan menjadi kelimpahan.
Agar
penerapan konsep Blue Economy berjalan dengan baik, dibutuhkan sinergi
diantara para pemangku kepentingan. Oleh karena itu, dukungan kemitraan dari
masyarakat, sektor swasta, akademisi, peneliti, pakar pembangunan, lembaga
nasional dan internasional mutlak harus dilakukan. Para stakeholders
tersebut secara bersama-sama dapat mendorong dan mengawal transformasi menuju
pemanfaatan sumber daya laut yang berkelanjutan serta meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pesisir.
Potensi sumber daya perikanan di Jambi mulai dilirik
kembali, khususnya oleh masyarakat Kab.Tanjung Jabung Barat. Potensi perikanan
khususnya bidang budidaya. Potensi perikanan tangkap yang telah menurun
berhasil ditopang oleh produksi perikanan budidaya. Hal ini mendorong berkembangnya
usaha- usaha perikanan budidaya, baik itu budidaya ikan di tambak, kolam,
karamba, jala apung,mina padi, dan lain-lain. Besarnya potensi dari bidang
perikanan menyebabkan usaha perikanan di Provinsi Jambi sepanjang tahun
terus bertambah.
Hal ini menunjukkan kebutuhan akan pakan ikan terus
meningkat seiring dengan berkembangnya usaha-usaha perikanan budidaya secara
intensif. Selama ini jenis pakan yang digunakan oleh pembudidaya adalah pakan
ikan olahan dari pabrik, namun pada umumnya daya beli masyarakat tidak
dapat menjangkau karena harga pakan buatan pabrik mahal dan terus mengalami
kenaikan harga. Harga pakan yang mahal disebabkan oleh bahan baku
pakan pabrik menggunakan tepung ikan impor yang memiliki kualitas tinggi.
Tepung ikan impor dikatakan memiliki kualitas yang tinggi karena merupakan
produk sampingan dari industri minyak ikan sehingga kandungan proteinnya tinggi
dengan kandungan abu yang rendah. Tepung ikan lokal memiliki harga
yang lebih rendah dibandingkan tepung ikan impor, namun kandungan protein
tepung ikan lokal lebih rendah dengan kandungan abu yang lebih tinggi.
Tepung ikan lokal memiliki kualitas yang lebih rendah karena bahan baku
tepung ikan lokal adalah sisa ikan yang tidak habis terjual atau ikan dengan
kualitas yang rendah. Hal ini menyebabkan industri pakan atau pelet
lebih banyak menggunakan tepung ikan impor dibanding tepung ikan lokal,
meskipun menyebabkan harga pakan menjadi mahal.
Indonesia sebenarnya memiliki berbagai sumber daya
alam yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan atau pellet. Contoh
sumber daya alam yang dapat digunakan sebagai bahan baku pakan adalah ikan
rucah(tidak layak konsunsi). Bahan baku tersebut mudah diperoleh
dan bukan bahan kebutuhan pokok manusia. Kandungan nutrisi yaitu protein
dari ikan rucah hampir setara dengan
kandungan protein tepung ikan impor. Sayangnya, belum banyak atau bahkan
belum ada usaha untuk mengolah dan membuat pakan sekala rumahan menggunakan
bahan baku ini khususnya di Jambi. Adanya upaya mengkonversi bahan baku
pelet dari tepung ikan impor ke bahan baku ikan lokal yang harganya lebih murah
dengan kualitas yang hampir sama, mengakibatkan menurunnya biaya produksi
pembuatan pakan atau pellet, sehingga harga jual pakan menjadi lebih
murah dan dapat dijangkau oleh pelaku budidaya. Pelaku budidaya
membutuhkan pakan yang memiliki kandungan nutrisi yang memadai dan harga yang
murah.
Atas dasar fakta dan asumsi di atas, pakan buatan berbahan baku ikan lokal sangat bagus untuk dilaksanakan
dan dikembangkan di Provinsi Jambi. Seirama dengan berkembangnya sistem
budidaya ikan secara intensif akan semakin besar kebutuhan terhadap pakan ikan
buatan. Dan apabila usaha budidaya ikan secara intensif telah menjadi “trademark”
usaha perikanan, kiranya akan membuka peluang usaha produksi massal pakan ikan
buatan sekala rumahan sebagai kebutuhan alternatif.
Melihat besarnya kebutuhan pakan ikan dan mahalnya harga pakan ikan
pabrikan membuat usaha pembuatan pakan ikan skala industri rumahan dinilai
cukup menjanjikan untuk dijadikan sebagai “dewa penolong” bagi petani ikan
diberbagai sentra budidaya ikan.
Usaha pakan ikan skala industri rumahan cukup prospektif, selama mampu menjamin ketersediaan bahan baku lokal berkualitas secara berkesinambungan, sehingga tidak tergantung pada pakan pabrikan yang masih menggunakan bahan pakan impor. Dengan menggunakan bahan baku lokal, tentu harga pakan bisa lebih murah.
Usaha pakan ikan skala industri rumahan cukup prospektif, selama mampu menjamin ketersediaan bahan baku lokal berkualitas secara berkesinambungan, sehingga tidak tergantung pada pakan pabrikan yang masih menggunakan bahan pakan impor. Dengan menggunakan bahan baku lokal, tentu harga pakan bisa lebih murah.
Selain bahan baku pakan yang cukup melimpah, peralatan yang
digunakan untuk memproduksi pakan ikan skala industri rumahan juga cukup
sederhana, seperti mesin penepung yang berfungsi untuk membuat tepung dari
bahan baku yang belum berbentuk tepung, mesin pengaduk sebagai wadah
pencampuran dan pengadukan agar semua bahan menyatu dengan sempurna, mesin
pencetak pelet, mesin pengering dan mesin jahit karung.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah penulis uraikan diatas, maka penulis merumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1.
Faktor-faktor
apa saja yang menjadi landasan konsep “Blue Economy”?
2.
Apakah pengetian
“Blue Economy”?
3.
Faktor-faktor
apa saja yang mempengaruhi produksi pakan ikan rumahan?
4.
Apakah pakan
ikan rumahan itu?
5.
Mungkinkah
pakan ikan rumahan dapat menjadi solusi bagi petani ikan / pembudidaya ikan?
1.3.
Tujuan
Penelitian
Tujuan dari
dibuatnya tulisan ini adalah untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan
sebelumya. Adapun tujuannya adalah:
1.
Untuk memahami
apa saja konsep “Blue Economy”
2.
Unuk mengetahui
faktor-faktor produksi pakan ikan rumahan
3.
Untuk
menganalisis kelebihan dan kekurangan pakan ikan rumahan
4.
Untuk menganalisis
komposisi nutrisi pada pakan ikan rumahan
1.4.
Manfaat
Penelitian
Manfaat
dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Dapat
memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang konsep “Blue Economy”
2.
Memberikan
kontribusi kepada pengusaha produk pakan ikan rumahan
3.
Memberikan
masukan bagi pemerintah dalam penentuan kebijakan pembangunan sektor perikanan
terutama berkaitan dengan pakan ikan
4.
Memberikan
masukan bagi pembudidaya ikan dalam penggunaan pakan ikan yang lebih efisien
BAB.II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Pengertian “Blue
Economy”
Terminologi "blue economy" merupakan dinamika pemikiran konsep
pembangunan terbaru yang kini sedang berkembang dengan mengandalkan sumber daya
laut atau perairan yang berlandaskan pada tiga pilar terintegrasi yaitu
ekosistem, ekonomi dan sosial. Istilah blue economy tersebut telah diangkat
dalam berbagai kerjasama internasional, seperti pada pertemuan tingkat Senior
Officials Meeting (SOM) for the Asia Pacific Economic Cooperation (APEC).
Konsep tersebut adalah konsep pengembangan yang membidik tiga kepentingan,
yakni Pertumbuhan, Kesejahteraan masyarakat dan Penyehatan lingkungan.
Ekonomi biru dapat dilihat sebagai tindakan yang bertumpu pada pengembangan
ekonomi rakyat secara komprehensif guna mencapai pembangunan secara
keseluruhan, sumberdaya laut yang diolah akan dimanfaatkan secara optimal
sebagai mainstream pembangunan ekonomi nasional.
Konsep "blue economy" yang baru muncul sekarang ini sebenarnya
telah lama dijelaskan dalam Surat An Nahl (QS; 16) ayat 14, Allah berfirman
"Dan Dialah Allah, yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat
memakan darinya daging yang segar (ikan) dan kamu mengeluarkan dari lautan
perhiasan yang kamu pakai, dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan
supaya kamu mencari (keuntungan/kemakmuran) dari karunia-Nya, dan supaya kamu
bersyukur."
2.1.2. Pemahaman Konsep
“Blue Economy”
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tetap akan konsisten menata
kembali pola pembangunan kelautan dan perikanan dengan mengadopsi konsep
pembangunan berkelanjutan yang lebih menekankan pada konsep Ekonomi Biru.
Konsep Blue Economy akan bertumpu pada pengembangan ekonomi rakyat secara
komprehensif guna mencapai pembangunan nasional secara keseluruhanPembangunan
berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa
mengurangi kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan sendiri.
Konsep pembangunan berkelanjutan dirancang agar tidak merusak sistem alam,
seperti; atmosfer, air, tanah, dan makhluk hidup. Selain itu, mengurangi
pencemaran dan kerusakan lingkungan, mengendalikan eksploitasi sumber daya
alam, dan berkeadilan.
Konsep blue economy adalah berkelanjutan dengan mengefisienkan
sumber daya alam. Selain itu, tanpa limbah. Limbah dijadikan sebagai bahan baku
bagi produk lain, sehingga limbah menghasilkan lebih banyak produk dan
pendapatan.
Dampak lain dari blue economy adalah melipat gandakan pendapatan
masyarakat dan perluasan lapangan kerja. Bagi perusahaan yang menerapkan konsep
ini, dapat melipatgandakan pendapatan perusahaan karena memanfaatkan sumber
daya alam lebih efisien.
Prinsip yang diterapkan pada pembangunan sektor kelautan dan perikanan
dengan konsep blue economy antara lain: pertama, terintegrasi antara
ekonomi dan lingkungan, jenis ivestasi dan sistem produksi, kebijakan pusat,
daerah, dan lintas sektor.
Kedua, berbasis kawasan. Yakni kawasan ekonomi potensial dan lintas batas
ekosistem, wilayah administratif, dan lintas sektor. Ketiga, sistem produksi
bersih, efisien tanpa limbah, bebas pencemaran, dan tidak merusak lingkungan.
Keempat, investasi kreatif dan inovatif, yakni penanaman modal dan bisnis
dengan model blue economy. Selanjutnya, berkelanjutan. Seimbang antara
pemanfaatan ekonomi sumber daya alam dan pelestarian lingkungan.
2.1.3.
Teori Produksi
Produksi diartikan sebagai penggunaan atau
pemanfaatan sumber daya yang mengubah suatu komoditi menjadi komoditi lainnya
yang sama sekali berbeda, baik dalam pengertian apa, dan dimana atau kapan
komoditi-komoditi tersebut dialokasikan, maupun dalam pengertian apa yang
dikerjakan oleh konsumen terhadap komoditi itu (Miller dan Mainers, 2000).
Dengan demikian produksi itu tidak terbatas pada pembuatannya saja tetapi juga
penyimpanannya, distribusi, pengangkutan, pengeceran, pemasaran kembali,
upaya-upaya mensiasati lembaga regulator atau mencari celah hukum demi
memperoleh keringanan pajak atau lainnya.
Teori produksi menerangkan sifat hubungan di antara tingkat
produksi yang akan dicapai dengan jumlah faktor-faktor produksi yang digunakan.
Menurut Sukirno (2002), hubungan di antara faktor-faktor produksi dan tingkat
produksi yang diciptakannya dinamakan fungsi produksi. Faktor-faktor produksi
dapat dibedakan kepada empat golongan, yaitu tenaga kerja, tanah, modal dan
keahlian keusahawanan. Dalam menganalisis mengenai produksi, selalu dimisalkan
bahwa tiga faktor produksi yang belakangan di nyatakan (tanah, modal dan
keahlian keusahawanan) adalah tetap jumlahnya. Hanya tenaga kerja yang
dipandang sebagai faktor produksi yang berubah-ubah jumlahnya. Dengan demikian,
di dalam menggambarkan hubungan di antara faktor produksi yang digunakan dan
tingkat produksi yang dicapai, yang di gambarkan adalah hubungan di antara
jumlah tenaga kerja yang digunakan dan jumlah produksi yang dicapai.
Faktor-faktor produksi dikenal pula dengan istilah input dan jumlah
produksi selalu juga disebut sebagai output. Fungsi produksi selalu
dinyatakan dalam bentuk rumus, yaitu seperti berikut:
|
di mana
K adalah jumlah stok modal, L adalah jumlah tenaga kerja dan ini meliputi
berbagai jenis tenaga kerja dan keahlian keusahawanan, R adalah kenyataan alam,
dan T adalah tingkat teknologi yang digunakan. Sedangkan Q adalah jumlah
produksi yang dihasilkan oleh berbagai jenis faktor-faktor produksi tersebut,
yaitu secara bersama digunakan untuk memproduksi barang yang sedang dianalisis
sifat produksinya. Persamaan tersebut merupakan suatu pernyataan matematik yang
pada dasarnya berarti bahwa tingkat produksi suatu barang tergantung kepada
jumlah modal, jumlah tenaga kerja, jumlah kekayaan alam, dan tingkat teknologi
yang digunakan. Jumlah produksi yang berbeda-beda dengan sendirinya akan
memerlukan berbagai faktor produksi tersebut dalam jumlah yang berbeda-beda
juga (Sukirno, 2002).
Iswardono,
(2004) menuliskan bahwa teori produksi sebagai mana teori perilaku konsumen
merupakan teori pemilihan atas berbagai alternatif yang tersedia. Dalam hal ini
adalah keputusan yang diambil seorang produsen dalam menentukan pilihan atas
alternatif tersebut. Produsen mencoba memaksimalkan produksi yang bisa dicapai
dengan suatu kendala ongkos tertentu agar bisa dihasilkan keuntungan yang
maksimum.
2.1.4. Definisi Pakan Ikan Rumahan
Pakan buatan yang
sering disebut pellet menurut Zonneveld (1991) adalah pakan kering dengan kadar
air di bawah 10% dan kandungan nutrisinya lengkap sesuai kebutuhan dari jenis
ikan yang dibudidayakan.
Di alam, ikan dapat memenuhi
kebutuhan makannya dengan pakan yang tersedia di alam.Dalam hal ini ikan
mempunyai kesempatan untuk memilih. Oleh karena itu, pakan yang berasal dari
alam selalu sesuai dengan selera ikan. Dalam lingkungan budidaya, ikan lebih
tergantung pada pakan buatan dan tidak mempunyai kesempatan untuk memilih.
Pakan buatan rumahan adalah pakan
yang dibuat dengan formulasi tertentu berdasarkan pertimbangan kebutuhannya.
Pembuatan pakan sebaiknya didasarkan pada pertimbangan kebutuhan nutrisi ikan,
kualitas bahan baku, dan nilai ekonomis. Dengan pertimbangan yang baik, dapat dihasilkan
pakan buatan yang disukai ikan, tidak mudah hancur dalam air, aman bagi ikan.
2.1.5. Hubungan Konsep “Blue
Economy” dengan Produksi Pakan Ikan Rumahan
Di
dunia ini, ikan dieksploitasi secara besar-besaran untuk kebutuhan manusia.
Namun pemanfaatan hasil tangkapan ikan yang dikonsumsi oleh manusia hanya
sebesar 50-60%, sisanya berupa limbah/by product (Rustad, 2003).
Sebagian by product hewan akuatik telah digunakan sebagai bahan baku
pembuatan tepung ikan, silase ikan, dan pakan ternak (Kjos, 2001 dan
Rustad,2003). Hal ini dikarenakan kandungan gizi dari by product sangat
bagus, mengingat hewan laut termasuk ikan sendiri mempunyai kandungan protein,
mineral, dan vitamin yang tinggi (Kjos, 2001).
By
product merupakan bahan baku yang ditinggalkan setelah
proses produksi dan mudah sekali busuk karena dipengaruhi oleh proses enzimatik
dari bahan baku (Rustad, 2003). Ketika memproduksi fillet, sisa
potongan, tulang belakang, kepala, liver, gonad, dan pencernaan merupakan by
product/ limbahnya (Gildberg , 2002 dalam Rustad, 2003). Semua by
product ini diperoleh dari ikan yang sudah tidak dimanfaatkan lagi, yang
sering dikenal dengan sebutan ikan rucah. Ikan rucah dapat dimanfaatkan sebagai
pakan ikan karena mempunyai keistimewaan yaitu: mengandung kadar protein yang
cukup tinggi (40-50%) dan bermutu mengandung asam lemak essensial, mengandung
vitamin dan mineral, lebih ekonomis dan mudah didapat (Sanoesi dkk., 2002).
Usaha
pemanfaatan limbah pada saat sekarang dan mendatang diharapkan dapat membantu
meningkatkan diversifikasi bahan pakan dan mengurangi pencemaran lingkungan.
Salah satu caranya melalui pengolahan bahan limbah menjadi produk baru melalui
suatu proses silase. Proses silase ikan bertujuanuntuk meningkatkan penggunaan
bahan baku ikan, yang dalam hal ini biasanya digunakan sebagai limbah
pengolahan menjadi lebih baik dari bahan dasarnya (Yuniarti dkk., 2002).
Bungkil
kelapa merupakan salah satu limbah dari produksi minyak kelapa (Hutagalung,
1981). Menurut Reksohadiprodjo (1984) 37% dari berat kelapa (kopra) yang
digiling/dipres akan menghasilkan bungkil kelapa. Daging kelapa yang biasanya
hanya dibuang begitu saja setelah diambil santannya sebenarnya masih mengandung
nutrisi yang berguna bagi ternak karena mengandung protein(17,09%), lemak
(9,44%), abu (5,92%) dan air (13,35%) (Mudjiman, 1991).
Dedak
merupakan hasil samping dari pemisahan beras dengan sekam (kulit gabah) pada
gabah yang telah dikeringkan melalui proses pemisahan dengan digiling atau
ditumbuk yang dapat digunakan sebagai pakan ternak. Proses pemisahan menjadi
dedak ini akan mendapatkan 10% dedak padi, 50 % beras dan sisanya hasil ikutan
seperti pecahan butir beras, sekam dan sebagainya, akan tetapi persentase ini
tergantung pada umur dan varietas padi yang ditanam (Grist, 1972).
Hartadi
dkk (1997) menyatakan bahwa dedak dengan kandungan serat kasar 6-12 % memiliki
kandungan lemak 14,1%, protein kasar 13,8%, sedangkan menurut National Research
Council (1994) dedak padi mengandung energi metabolis sebesar 2100 kkal/kg,
protein kasar 12,9%, lemak 13%, serat kasar 11,4%, Ca 0,07%, P tersedia 0,21%,
serta Mg 0,22%.
2.1.6.
Efisiensi Pakan Ikan Rumahan
Efisiensi merupakan rasio antara output dan input, dan perbandingan
antara masukkan dan keluaran. Apa saja yang dimaksudkan dengan masukan serta
bagaimana angka perbandingan tersebut diperoleh, akan tergantung dari tujuan
penggunaan tolak ukur tersebut. Secara sederhana menurut Nopirin (1997),
efisiensi dapat berarti tidak adanya pemborosan.
Penggunaan sumber daya produksi dikatakan belum efisien apabila
sumber daya tersebut masih mungkin digunakan untuk memperbaiki setidak-tidaknya
keadaan kegiatan yang satu tanpa menyebabkan kegiatan yang lain menjadi lebih
buruk. Sumber daya dikatakan efisien pengunaannya jika sumber daya tersebut
tidak mungkin lagi digunakan untuk memperbaiki keadaan kegiatan yang satu tanpa
menyebabkan kegiatan yang lain menjadi lebih buruk (Lipsey, 1992). Menurut
Mubyarto (1986), Efisiensi adalah suatu keadaan di mana sumberdaya telah
dimanfaatkan secara optimal. Untuk memperoleh sejumlah produk diperlukan
bantuan atau kerjasama antara beberapa faktor produksi.
Tingkat kebutuhan protein ikan tawar pada umumnya 26-30% sedangkan
untuk pakan ikan laut kadar protein yang dubutuhkan sekitar 47-53%. Sementara
itu, tingkat efisiensi pakan yang dihasilkan pakan skala rumahan sekitar 2:1,
yakni dari 2 kg pakan yang dikonsumsi akan menghasilkan 1 kg daging di akhir
masa panen untuk ikan mas dan 1 kg pakan yang diberikan pada ikan bawal akan
menghasilkan daging 0,7 kg saat panen (1:0,7).
Sementara itu,
tingkat efisiensi pakan pelet lele bisa mencapai tingkat efisiensi 1:1, yakni
dari 1 kg pakan yang diberikan akan menghasilkan 1kg daging saat panen. Pada
dasarnya setiap jenis ikan membutuhkan nutrisi yang berbeda, demikian juga
teknik pemeliharaan akan sangat mempengaruhi pelet yang harus dipergunakan.
Bila hal tersebut tidak terpenuhi, akan sulit bagi pembudidaya mendapatkan
efisiensi yang baik.
Nilai efisiensi pakan bisa tercapai apabila kebutuhan protein ikan mampu tercukupi dari suplai pakan yang diberikan. Nah, untuk mencari kebutuhan protein ikan bisa diketahui dari data yang dilangsir oleh National Research council (NRC), yakni badan riset internasional yang merilis hasil penelitian pada publik tentang cara penghitungan kebutuhan nutrisi pakan ikan yang diperoleh dari perkalian persentase bahan baku dengan kadar protein yang terkandung pada bahan baku yang kemudian dijumlahkan. Selain itu, pengujian kadar protein juga bisa dilakukan melalui uji nutrisi pakan di laboratorium ilmu nutrisi.
Pemilihan bahan
baku ikan rucah sebagai pengganti tepung
ikan impor karena memiliki nilai gizi yang lengkap dan hampir sama kandungan
proteinnya dengan tepung ikan impor, mudah dicerna, tidak mengandung racun,
mudah diperoleh, bukan kebutuhan pokok manusia, sehingga potensial untuk perkembangan
proses produksi pakan ke depan. Kuala Tungkal sebagai lokasi produksi
pakan menyediakan bahan baku yang melimpah melihat Kuala Tungkal merupakan daerah pesisir
sehingga ikan laut tersedia cukup banyak, selain itu ikan rucah belum dimanfaatkan oleh penduduk
karena ikan tersebut tidak layak pakai.
Harga jual pakan buatan rumahan dengan bahan baku ikan rucah tidak mahal
namun tetap memberi keuntungan. Harga pakan dengan bahan baku ikan rucah
menjadi lebih murah karena dalam pembuatan pakan menggunakan prinsip
pemanfaatan sumber daya alam yang terdapat di sekitar tempat produksi dan yang
tidak dikonsumsi secara langsung oleh manusia atau pemanfaatan bahan baku yang
memiliki nilai nutrisi dan nilai ekonomi dari pada bahan pangan hewani yang
akan dihasilkan sehingga biaya produksi dapat ditekan serendah mungkin dan
harga jual dapat disesuaikan dengan isi kantong pelaku budidaya atau petani.
2.2. Penelitian
Terdahulu
No
|
Judul
|
Penulis
|
Variabel
|
Hasil
|
1.
|
OPTIMISASI POTENSI EKONOMI INDONESIA,
TINJAUAN PADA ASPEK BLUE ECONOMY
|
Fadli Umam
Muhammad Hanafi
Ijmal Hanandra Purba
|
-
Perikanan
-
Hutan Mangrove
-
Hutan Bakau
-
Industri Bioteknologi
Kelautan
|
Blue Economy merupakan konsep yang tidak serta merta dikaitkan dengan
ekonomi kelautan, namun demikian, prinsip implementasi yang ada pada konsep
ini sangat sejalan dengan strategi optimisasi output dari bidang keluatan dan
perikanan
|
2.
|
KAJIAN
TINGKAT KECERNAAN PAKAN BUATAN
YANG
BERBASIS TEPUNG IKAN RUCAH
PADA IKAN
NILA MERAH (Oreochromis niloticus)©
|
Selpiana,
Limin Santoso, dan Berta Putri
|
-
ikan nila,
-
kecernaan total
-
kecernaan protein
-
tepung ikan rucah
|
tingkat
kecernaan pakan buatan dengan proporsi tepung ikan rucah 540 gram pada ikan
nila merah memberikan hasil tertinggi terhadap kecernaan total pakan sebesar
70,51% dan kecernaan protein pakan sebesar 80,64%.
|
3.
|
Efisiensi
Teknis Usaha Budidaya Ikan Lele DI kolam
(Studi Kasus di
Kabupaten Tulung Agung Propinsi Jawa Timur)
|
Tajerin
2007
|
- Luas kolam
- Benih
- Pakan
- Tenaga kerja
|
Tingkat efisiensi teknis yang dicapai oleh usaha
budidaya pembesaran ikan lele di tulung agung dalam kategori sedang-tinggi.
|
4.
|
Analisis efisiensi Teknis Usaha Budidaya
Pembesaran Ikan Kerapu Dalam Karamba Jaring Apung Diperairan Teluk Lampung
|
Muhamad Noor
2005
|
-
Luas areal karamba jaring apung
-
benih ikan
-
tenaga kerja
-
Pakan ikan
|
Secara
umum tingkat efisiensit eknis yang dicapaileh pembesaran ikan karapu dalam
karamba jarring apung diperairan teluk lampung tergolong dalam kategori
sedang- tinggi
|
5.
|
Analisis Efisisensi Produksi kasus Pada
Budidaya Penggemukan Kepiting Bakau di Kabupaten Pemalang
|
Dwi
Arie Putranto
2007
|
-
Luas lahan
-
Benih
-
Pakan
-
Tenaga kerja
|
Nilai
RTS nya lebih besar dari 1 yaitu sebesar 1,176. Hal ini berarti menunjukkan
bahwa budidaya penggemukan kepiting bakau dalam keadaan Increasing Return
to Scale yang berari bahwa proporsi penambahan faktor produksi akan
menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar.
|
2.3. Skema Kerangka
Pemikiran
Untuk mencapai efisiensi produksi pakan ikan khususnya pakan ikan rumahan baik itu efisiensi teknis, efisiensi harga
maupun efisiensi ekonomis diperlukan suatu kombinasi dari penggunaan faktor-faktor
produksi. Berikut ini dijabarkan mengenai alur befikir dalam penelitian konsep
“Blue Economy” pada produksi pakan ikan rumahan di KUB.Agro Mina Kuala Tungkal.
Gambar 2.3
Skema Kerangka Pemikiran
|

|
|



|
|
|
|
![]() |
![]() |
||||||
![]() |
|||||||
![]() |
|||||||
BAB. III
METODOLOGI PENELITAN
3.1. Metode Penelitian
Studi ini
merupakan studi empiris mengenai analisis konsep blue economy pada produksi pakan ikan
rumahan di KUB. Agro Mina Kuala Tungkal
3.1.1.Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel
Definisi variabel
dan pengukurannya dapat dijelaskan agar diperoleh kesamaan pemahaman terhadap
konsep-konsep dalam penelitian ini, yaitu :
1.
Jumlah produksi (Y) adalah jumlah pakan ikan yang
dihasilkan oleh perusahaan pakan ikan rumahan dalam satuan kilogram (Kg).
2.
Bahan baku
(X1) yaitu bahan-bahan yang
digunakan untuk produksi pakan ikan dalam satuan kilogram (Kg).
3.
Mesin/Peralatan (X2) yaitu alat yang digunakan
untuk mmemproduksi pakan ikan dalam satuan unit
4.
Jumlah tenaga kerja (X3), yaitu jumlah tenaga
kerja baik dari keluarga sendiri maupun dari luar keluarga yang digunakan .
Dimana penghitungan upah dan dihitung
dengan sistem borongan
5.
BBM (X4), yaitu bahan bakar minyak yang digunakan untuk
menjalankan mesin dengan satuan liter(lt)
3.1.2. Populasi
dan Sampel
Populasi adalah kumpulan individu dengan kualitas serta
cirri-ciri yang telah ditetapkan (Moh. Nasir, 1988). Menurut Mudrajad Kuncoro
(2003) populasi diartikan sebagai sekelompok elemen yang lengkap, yang biasanya
berupa orang, objek, atau kejadian di mana tertarik untuk mempelajarinya atau
menjadi objek penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah petani budidaya
ikan dalam efisensi penggunaan pakan
ikan buatan industri rumahan di Kuala Tungkal.
Metode yang
digunakan dalam pengambilan sampel adalah dengan metode purposive sampling,
yaitu metode pemilihan sampel berdasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat
populasi yang sudah diketahui sebelumnya, metode ini digunakan untuk mencapai
tujuan tertentu sesuai dengan penelitian yang dilakukan (Sutrisno Hadi, 1982).
3.2. Teknik Pengumpulan
Data
Pengumpulan data dalam suatu penelitian ilmiah
dimaksudkan untuk bahan atau data yang relevan, akurat reliable yang
hendak kita teliti. Oleh karena itu perlu diguunakan metode pengumpulan data
yang baik dan cocok. Dalam penelitian ini digunakan metode pengumpulan data
berupa :
3.2.1
Metode Interview (Wawancara)
Dalam Soekartawi (2002) dijelaskan bahwa
pengertian interview atau wawancara adalah
kegiatan mencari bahan (keterangan, pendapat) melalui tanya jawab lisan denagan
saja yang diperlukan. Wawancara ini dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan
yang telah disusun sebelumnya sehingga sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam
hal ini dipersiapkan dulu pertanyaan sebagai pedoman tetapi masih dimungkinkan
adanya variasi pertanyaan, yang sesuai dengan situasi ketika wawancara akan
dilaksanakan.
3.2.2
Observasi
Observasi adalah kegiatan yang dilakukan dengan
mengadakan pengamatan secara langsung terhadap objek yang diteliti. Observasi
ini mempunyai keuntungan yaitu sasaran observasi tidak menunjukan tingkah laku
yang dibuat-buat, sehingga kewajaran dan kebenaran keadaan yang diperole akan
lebih tinggi. Selain keuntuhan terdapat juga kelemahannya antara lain:
diperlukan biaya yang relatif lebih mahal, dan adanya suatu gejala atau
peristiwa yang susah untuk diobservasi misalnya mengamati kejala inflasi,
gejala perubahan struktur pengusahaan usaha pertanian. Untuk mengatasi
kelemahan-kelemahan tersebut, maka observasi ini perlu dibantu dengan
menggunakan metode wawancara. Metode observasi ini dilakukan dengan cara
mengadakan penelitian langsung terhadap obyek yang akan diteliti. Observasi ini
dilakukan untuk memperoleh fakta-fakta berdasarakan pengamatan penelitian.
3.2.3
Dokumentasi
Metode ini dilakukan dengan metode studi pustaka yaitu
mengadakan survei terhadap data yang telah ada dan menggali teori-teori yang
telah berkembang dalam bidang ilmu yang terkait. Penelitian ini menggunakan
teknik pengumpulan data yaitu mengumpulkan data melalui website BPS Provinsi Jambi, Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Jambi, Dinas Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Tanjung Jabung
Barat dan isntansi terkait.
3.3. Sumber Data
Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data primer dan data sekunder.
3.3.1 Data Primer
Data preimer dalam penelitian ini diperoleh
secara langsung dari objek peneilitian yang diamati. Metode yang digunakan
dalam pengambilan data adalah metode survei dengan teknik wawancara pada petani
budidaya ikan air tawar berdasarkan
kuesioner yang berisikan suatu rangkaian pertanyaan mengenai efisiensi pakan
ikan rumahan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Muaro Jambi
3.3.2
Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh
secara tidak langsung melalui studi kepustakaan yaitu dengan membaca
kepustakaan seperti buku-buku literatur, diktat-diktat kuliah, majalah-majalah,
jurnal-jurnal, buku-buku yang berhubungan dengan pokok penelitian, surat kabar
dan membaca dan mempelajari arsip-arsip atau dokumen-dokumen yang terdapat di
instansi terkait. Untuk melengkapi paparan hasil penelitian juga digunakan
rujukan dan referensi dari bank data lain yang relevan, misal dari jurnal,
laporan hasi penelitian terdahulu, serta publikasi yang relevan dengan
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Sharif Cicip Sutarjo,2011. Strategi industrialisasi
perikanan
Badan Pusat Statistik (BPS), kuartal II -2013 sektor kelautan dan perikanan
Al Qur’an Surat An Nahl (QS; 16) ayat 14, Petunjuk konsep Blue Economy
Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP) ,2011. konsistensi pola pembangunan kelautan dan perikanan
Afrianto, E dan E. Liviawaty, 2005. Pakan Ikan dan Perkembangannya. Penerbit Kanisius.Yogyakarta
Anonim, 2009. Prospek
Cerah Beternak Puyuh.
Diunduh pada Agustus 2012 darihttp://berternak.blogdetik.com/2009/10/04/
prospek-cerah-beternak-puyuh
Anonim, 2013. Membuat sendiri
pakan lelealternatif. Diunduh
pada Oktober 2012 dari
Djajasewaka, H. 1990.
Pakan Ikan. C.V.Yasaguna, Jakarta
Guillaume, Kaushik S,
Bergot P, Metailler R.2001. Nutrition and Feeding of fish and
Crustaceans. UK: Praxis Publishing
Mahrizal, Victor,
2011. Pemprov DIY Genjot Produksi Ikan Lele dalam
harian Tribun
Jogja,
Rabu, 23 Maret 2011
Mudjiman, A., 1985.
Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta
Miller dan Mainers, 2000. Teori Produksi
Sukirno (2002), hubungan antara
faktor-faktor produksi dan tingkat produksi
Iswardono,
(2004) . Teori produksi dan teori perilaku konsumen
Zonneveld (1991). Pakan ikan skala industry rumahan
Moh. Nasir, 1988. Populasi
Sutrisno Hadi, 1982. metode
purposive sampling
Hutagalung. 1981. Ampas Kelapa
dan Sapi. http://www.manglayang.blogsome.com
/2005/11/25/ampas-kelapa-dan-sapi-bagian-1.
BPS Provinsi Jambi, Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Jambi, Dinas Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Tanjung Jabung
Barat